Website ini adalah pindahan dari www.dialogimani.wordpress.com (website komunitas dialog imani RRI Bandar Lampung)

Tanya:
Apa benar ada puasa khusus bulan Rajab? (085664278XXX)

Jawab:
    Tidak ada puasa sunnah khusus yang dianjurkan untuk dilakukan pada bulan Rajab. Kalaupun ada riwayat yang menyatakan akan hal itu, para ulama ahli hadits menghukumi riwayat-riwayat tersebut lemah bahkan banyak yang palsu.

Adapun diantara para ulama yang menjelaskan kedudukan puasa khusus di bulan Rajab adalah:

Ibnu Rajab berkata: "Adapun puasa, maka tidak ada hadits yang shahih yang menunjukkan keutamaan puasa di bulan Rajab secara khusus dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak pula dari para sahabatnya." (Lathaiful Ma'arif 228)
   
Ibnu Tamiyah berkata: "Adapun puasa di bulan Rajab secara khusus, maka semua haditsnya dha'if (lemah), bahkan maudhu', tidak ada ulama yang menjadikannya sebagai pegangan. Bukan termasuk dha'if yang diriwayatkan dalam fadha`il (keutamaan amal ibadah), bahkan umumnya adalah hadits-hadits maudhu' yang dusta. Ibnu Majah dalam sunannya meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  bahwasanya beliau melarang puasa di bulan Rajab.' Dan pada isnadnya perlu ditinjau kembali. Akan tetapi shahih riwayat bahwa Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu memukul tangan manusia agar mereka meletakkan tangan pada makanan di bulan Rajab dan berkata, 'Janganlah kamu menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.' Adapun menentukan beri'tikaf dalam tiga bulan, yaitu Rajab, Sya'ban, dan Ramadhan, maka aku tidak mengetahui perintah padanya. Bahkan setiap orang yang berpuasa secara benar, dan ingin beri'tikaf dari puasa, niscaya hukumnya boleh tanpa diragukan lagi. Dan jika ia beri'tikaf tanpa berpuasa, dalam masalah ini ada dua pendapat yang terkenal di kalangan ulama. (Al-Fatawa 25/290-292)
   
Demikian pula pendapat para ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah mereka menyimpulkan bahwa tidak ada tuntunannya melakukan puasa khusus pada bulan Rajab.
   
Adapun diantara riwayat yang dijadikan dalil oleh orang-orang yang melakukan puasa Rajab adalah:

رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِي, وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِى. فَمَنْ صَامَ مِنْ رَجَبٍ يَوْمَيْنِ فَلَهُ مِنَ الْأَجْرِ ضِعْفَانِ, وَوَزُن كُلِّ ضِعْفٍ مِثْلُ جِبَالِ الدُّنْيَا

Artinya : “Rajab adalah bulan Allah, Sya`ban bulan Saya (Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam), sedangkan Ramadhan bulan ummat Saya. Barang siapa berpuasa di bulan Rajab dua hari, baginya pahala dua kali lipat, timbangan setiap lipatan itu sama dengan gunung gunung yang ada di dunia."
Hadits ini “Maudhu`” (Palsu). Dalam sanad hadits ini ada yang bernama Abu Bakar bin Al Hasan An Naqqaasy, dia perawi yang dituduh pendusta, Al Kasaaiy- rawi yang tidak dikenal (Majhul). Hadits ini juga diriwayatkan oleh pengarang Allaalaiy dari jalan Abi Sa`id Al Khudriy dengan sanad yang sama, juga Ibnu Al Jauziy nukilan dari kitab Allaalaiy.

مَنْ صَامَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبٍ, كُتِبَ لَهُ صِيَامُ شَهْرٍ, مَنْ صَامَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبٍ, أَغْلَقَ اللهُ عَنْهُ سَبْعَةَ أَبْوَابٍ مِنَ النَّارِ, وَمَنْ صَامَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبٍ, فَتَحَ اللهُ لَهُ ثمَاَنِيَةَ أَبْوَابٍ مِنَ الْجَنَّةِ, وَمَنْ صَامَ نِصْفَ رَجَبٍ حَاسَبَهُ اللهُ حِسَابًا يَسِيْرًا.

Artinya : “Barang siapa berpuasa tiga hari di bulan Rajab, sama nilainya dia berpuasa sebulan penuh, barang siapa berpuasa tujuh hari Allah Subhana wa Ta`ala akan menutupkan baginya tujuh pintu neraka, barang siapa berpuasa delapan hari di bulan Rajab Allah Ta`ala akan membukakan baginya delapan pintu sorga, siapapun yang berpuasa setengah dari bulan Rajab itu Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah sekali.”
Diterangkan di dalam kitab Allaalaiy setelah pengarangnya meriwayatkannya dari Abaan kemudian dari Anas secara Marfu` : Hadits ini tidak Shohih, sebab Abaan adalah perawi yang ditinggalkan, sedangkan `Amru bin Al Azhar pemalsu hadits, kemudian dia jelaskan : Dikeluarkan juga oleh Abu As Syaikh dari jalan Ibnu `Ulwaan dari Abaan, adapun Ibnu `Ulwaan pemalsu hadits.

إِنَّ شَهْرَ رَجَبٍ شَهْرٌ عَظِيْمٌ. مَنْ صَامَ مِنْهُ يَوْمًا كُتِبَ لَهُ صَوْمُ أَلْفِ سَنَةٍ

Artinya : “Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang mulia. Barang siapa berpuasa satu hari di bulan tersebut berarti sama nilainya dia berpuasa seribu tahun."
Diriwayatkan oleh Ibnu Syaahin dari `Ali secara Marfu`. Dan dijelaskan dalam kitab Allaalaiy : Hadits ini tidak Shohih, sedangkan Haruun bin `Antarah selalu meriwayatkan hadits-hadits yang munkar. [Lihat Al Fawaaid Al Majmu`ah fi Al Ahadiits Al Maudhu`ah, hal. 100-101,
dan hal. 439-440. Karya : Syaikul Islam Muhammad Bin `Ali As
Syaukaniy (Wafat : 1250 H]

Para Salafus Shalih baik dari kalangan sahabat, tabi'in maupun orang-orang setelah mereka mengingkari akan puasa khusus Rajab, diantara pengingkaran mereka adalah:

Diriwayatkan dari Umar bin Khatab Radhiyallahu 'anhu bahwa ia memukul tangan orang-orang yang puasa Rajab hingga mereka meletakkannya pada makanan (membatalkan puasanya) seraya berkata: “Apakah Rajab itu? Bulan ini dulu dimuliakan orang-orang jahiliyah, setelah Islam datang hal ini ditinggalkan.” Dalam riwayat lain: “ia tidak suka puasa Rajab dianggap sunah”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu ia melarang puasa penuh pada bulan Rajab.
Dari Abu Bakrah Radhiyallahu 'anhu ia melihat keluarganya bersiap-siap untuk puasa Rajab, ia berkata: “Apakah kalian menjadikan Rajab seperti Ramadan?”.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu ia berpendapat untuk tidak berpuasa beberapa hari pada bulan ini sedangkan Anas bin Malik dan Said bin Jubair dan yang lainnya memakruhkannya.
 (Lihat Tabiyinul 'Ajab fima warada fi fadhli Rajab, karya Ibnu hajar hal. 6. dan lihat:  as-Sunan wa al-Mubtada'at karya asy-Syuqairi hal. 125)

    Tidak adanya keutamaan berpuasa di bulan Rajab secara khusus tidak berarti kita tidak boleh melakukan puasa sunnah di bulan itu seperti puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari setiap bulan, puasa sehari dan buka sehari, puasa-puasa sunnah yang umum ini tetap dianjurkan untuk dilaksanakan pada bulan Rajab ini dengan catatan tidak diyakini memiliki keutamaan khusus atau memiliki fadhilah yang tidak terdapat pada bulan-bulan lainnya. (Lihat Al-Bida' wal hawadits, ath-Tharthusyi hal. 110-111, dan lihat Tabyinul 'ajab karya Ibnu Hajar hal 37-38)
Wallahu a'lam bish Showab.

Tanya:

    Bagaimana hukumnya mengusap muka setelah berdoa sehabis sholat fardhu? (081321401XXX)

Jawab:

Banyak orang yang mengusap muka mereka setelah melakukan sholat ataupun berdo'a. Namun benarkah amalan itu pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya?

Memang kita dapati banyak riwayat yang menjelaskan tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan setelah berdoa, namun riwayat-riwayat tersebut tidak ada satupun yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.

Berikut ini beberapa riwayat tersebut:

Hadits Pertama:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

"Dari Umar bin Khattab Radliyallahu ’anhu ia berkata: "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo'a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya."
Hadits ini lemah.
Diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2/244), Ibnu 'Asakir (7/12/2). Dengan sanad Hammaad ibn 'Isa al-Juhani dari Hanzalah ibn Abi Sufyaan al-Jamhi dari Salim ibn 'Abdullah dari bapaknya dari 'Umar ibn al-Khatthab.

     At Tirmidzi berkata : "Hadits ini gharib, kami hanya mendapatkannya dari Hammad ibn 'Isa Al Juhani. Dan dia menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini. Dia hanya mempunyai (meriwayatkan) beberapa hadits saja, tapi orang-orang meriwayatkan darinya."

     Al Hafidh Ibnu Hajar di dalam At Taqrib At Tahdzib, menjelaskan tentang riwayat hidupnya, menukil penilaian Ibnu Ma'in berkata: 'Dia adalah Syaikh yang baik', Abu Hatim berkata: 'Lemah didalam (meriwayatkan) hadits', Abu Dawud berkata: 'Lemah, dia meriwayatkan hadits-hadits munkar'.

     Hal senada dikatakan oleh Hakim, Naqash, Ad Daraquthni dan Ibnu Hibban. (Lihat Irwaul Ghalil 2/178)

Hadits Kedua:

عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ

"Dari Said bin Yazid dari bapaknya bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika berdo'a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya tersebut."
Hadits ini Dha'if (lemah).
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1492) dari Ibnu Lahi'ah dari Hafsh bin Hisyam bin 'Utbah bin Abi Waqqash dari Sa'ib bin Yazid dari ayahnya.

     Ini adalah hadits dha'if berdasarkan pada Hafsh bin Hisyam karena dia tidak dikenal (majhul) dan lemahnya Ibnu Lahi'ah (Taqribut Tahdzib). (Lihat Irwaul Ghalil 2/179)

Hadits Ketiga

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَوْتَ اللَّهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ

"Dari Ibnu Abbas. Ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika engkau berdo'a kepada Allah, mohonlah dengan kedua telapakmu yang bagian dalam, janganlah engkau memohon dengan punggung kedua telapak tangan. Dan jika engkau sudah selesai (berdo'a) maka usapkan kedua (telapak tangan) tersebut kewajahmu".
Hadits ini lemah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1181, 3866), Ibnu Nashr dalam Qiyaamul-Lail (hal. 137),Ath Thabarani dalam Al-Mu'jam al-Kabir (3/98/1) & Hakim (1/536), dari Shalih ibn Hassan dari Muhammad ibn Ka'b dari Ibnu 'Abbas radiallaahu 'anhu (marfu'). (Lihat Irwaul Ghahlil 2/179)

Hadits Keempat

سَلُوا اللَّهَ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلَا تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا فَإِذَا فَرَغْتُمْ فَامْسَحُوا بِهَا وُجُوهَكُمْ

"Mohonlah kalian kepada Allah dengan kedua telapakmu yang bagian dalam, janganlah kalian memohon kepada-Nya dengan punggung kedua telapak tangan. Dan jika kalian sudah selesai (berdo'a) maka usapkan kedua (telapak tangan) tersebut kewajah kalian".
    Hadits ini Lemah.
    Dilemahkan oleh Imam Nawawi (lihat Nazlul Abrar : 36), Al Baghawi dalam Syarah Sunnah 5/203, AL Bushiri dalam Az-Zawaid  (Misbahuz Zujajah) 1/141, Syeikh Albani dalam As-Shahihah 2/146 dan Syaikh Bakar Abu Zaid dalam Mashul Wajhi 9-21.

    Inilah beberapa riwayat tentang mengusap wajah setelah berdoa, yang kesemuanya tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, oleh karenanya riwayat-riwayat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam masalah ini.

    Justru kita dapatkan pengingkaran dari para ulama salaf tentang mengusap wajah setelah berdoa ini diantaranya:

1.    Imam Anas Bin Malik.
Imam AL Maruzi mengatakan dalam Kitabul Witri hal : 236 : "Imam Malik bin Anas Rahimahullah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengusapkan kedua telapak tangannya kewajahnya setelah berdoa. Lalu beliau mengingkarinya seraya berkata: "Aku tidak tahu (sunnahnya)."

2.    Abdullah bin Mubarak.
Imam Baihaqi (2/212) meriwayatkan dari Al Basyani ia berkata: "Aku bertanya kepada Abdullah yakni Ibnu Mubarak tentang orang yang berdoa kemudian mengusap wajahnya, beliau menjawab : "Aku tidak mendapati pijakan (dalil) yang kuat tentang persoalan itu."

3.    Imam Izz bin Abdussalam.
Imam Al Munawi dalam Faidhul Qadir 1/369 mengatakan: Imam Izz bin Abdussalam berkata: "Tidaklah mengusap wajahnya kecuali orang yang jahil."

4.    Imam An Nawawi.
Dalam Kitab beliau al Majmu' sebagaimana dinukil oleh Ibnu Allan dalam Syarah Al Adzkar2/311, beliau mengatakan: "Tidak disunnahkan mengusap (wajah) setelah berdoa diluar sholat."

5.    Imam Ibnu Taimiyah.
Di dalam Majmu' Fatawa (22/519) beliau mengatakan: "Banyak hadits-hadits yang shahih yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangan beliau dalam berdoa. Sedangkan tentang mengusap wajah dengan kedua tangan beliau (setelah berdoa) tidak banyak riwayat dari beliau kecuali satu atau dua riwayat saja, dan kedua riwayat itupun tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (lantaran periwayatannya yang lemah). Wallahu A'lam."

Oleh karenanya pendapat yang paling kuat adalah tidak disyari'atkannya mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa, baik itu dalam sholat seperti ketika membaca doa qunut maupun diluar sholat saat seseorang berdoa memohon kepada Allah Ta'ala. (Lihat kitab Juz Fi Mashil Wajhi Bil Yadaini ba'da Raf'ihima liddu'a, Syeikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid)

Tanya:
    Apa hukum puasa setiap hari berturut-turut? (Ramli)

Jawab:
    Puasa yang dilakukan oleh seseorang setiap hari berturut-turut disebut puasa dahr, puasa seperti ini hukumnya makruh. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/144).

    Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam berikut ini :

لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ

"Tidaklah dikatakan berpuasa orang yang berpuasa sepanjang masa (terus-menerus)." (HR. Bukhari No 1977 dan Muslim No 186)

    Dalam riwayat yang bersumber dari Abu Qatadah disebutkan:
   
قَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ بِمَنْ يَصُومُ الدَّهْرَ كُلَّهُ قَالَ لاَ صَامَ وَلاَ أَفْطَرَ

"Umar Berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana dengan orang yang berpuasa sepanjang masa? Beliau menjawab: "Ia tidak puasa dan tidak pula berbuka." (HR. Muslim No 2803).

    Jika seseorang ingin memperbanyak puasa maka puasa yang paling baik adalah puasa Daud, sehari berpuasa dan sehari berbuka. Tidak ada puasa sunnah yang lebih baik dan utama dari puasa Daud. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Muslim berikut, dari Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu :

قَالَ كَيْفَ مَنْ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا قَالَ ذَاكَ صَوْمُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ

"(Umar) berkata: Bagaimana dengan orang yang sehari berpuasa dan sehari berbuka?" Beliau (Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam) menjawab: "Itu adalah puasa Daud  'alaihissalam." (HR. Muslim No 2803).

    Dalam riwayat lain disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو - رضى الله عنهما - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا ».

"Dari Abdullah bin Amru Raadhiyallahu 'anhuma ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda: "Sesungguhnya puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Daud dan sholat yang paling disukai Allah adalah sholatnya Daud 'alaihissalam. Beliau tidur separuh malam dan bangun sepertiga malam dan tidur seperenam malam. Beliau sehari berpuasa dan sehari berbuka." (HR. Bukhari No 3420 dan Muslim No 2796)

Tanya:

    Apa hukumnya khitan bagi wanita? (085269913XXX)

Jawab:

     Jumhur Ulama berpendapat bahwa khitan bagi wanita hukumnya disyariatkan, bahkan menurut madzab Syafi’iyah, Hanabilah (Hanbali) dan sebagian Malikiyah hukumnya adalah wajib. (Lihat Al Majmu’, An Nawawi (1/300), Al Inshaf, Al Mardawi (1/123)al Mubdi’, Ibnu Muflih (1/103-104)Al Qawanin Al Fiqhiyyah, Ibnu Jizzi : 167, Fatawa Arkanil Islam, Syeikh Utsamin : 216-217 dan Fatawa Lajnah Daimah Lil Ifta' 5/119,120]).

     Telah shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam bukan hanya dalam satu hadits, anjuran beliau untuk mengkhitan wanita.

Seperti yang diriwayatkan oleh Khalal dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu 'anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:

الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ

"Khitan itu merupakan sunnah bagi para lelaki dan kehormatan (kemuliaan) bagi para wanita" (HR. Ahmad No 20195 dan Baihaqi 8/325)

Beliau Shallallahu 'alaihi Wasallam juga memerintahkan wanita yang mengkhitan untuk tidak berlebihan dalam mengkhitan anak wanita.


عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ

"Dari Ummu Athiyyah bahwa ada seorang wanita yang berkhitan di Madinah, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam berkata kepadanya: (Khitanlah dan) jangan dihabiskan (jangan berlebih-lebihan dalam memotong bagian yang dikhitan) karena yang demikian lebih cemerlang bagi (wajah) wanita dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami" [HR. Abu Daud (5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil (3/1083) dan Al-Khatib dalam Tarikhnya 12/291 dan dihasankan oleh Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah No 722)

    Juga ada riwayat yang mengisyaratkan dikhitannya kaum wanita, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam:

إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَجَبَ الْغُسْلُ

"Bila telah bertemu dua khitan (alat kelamin suami dan istri) maka sungguh telah wajib mandi (junub)." [Shahih, Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (108-109), Asy-Syafi'i (1/38), Ibnu Majah (608), Ahmad (6/161), Abdurrazaq (1/245-246) dan Ibnu Hibban (1173-1174 - Al Ihsan)]

Dalam hadits diatas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menisbatkan khitan pada wanita, maka ini merupakan dalil disyariatkannya khitan bagi wanita.

    Dan dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

"Jika (seorang suami) telah duduk di antara empat anggota tubuh (istri)nya dan khitan yang satu telah menyentuh khitan yang lain maka telah wajib mandi (junub)." [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (1/291 - Fathul Bari), Muslim (249 - Nawawi), Abu Awanah (1/269), Abdurrazaq (939-940), Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Al-Baihaqi (1/164)]

     Hadits ini juga mengisyaratkan dua tempat khitan yang ada pada lelaki dan wanita, maka ini menunjukkan bahwa wanita juga dikhitan. Demikian ungkapan Imam Ahmad sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud. [Lihat kitab Ahkamul Maulud fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak dalam Sunnah yang Suci, hal 107-110 Pustaka Al-Haura].

Tanya:

    Bagaimana hukumnya masjid mengeluarkan biaya untuk transportasi khatib, marbot, panitia qurban, imam dan lain-lain?

Jawab:

    Jika dalam upaya untuk memakmurkan masjid diperlukan dana operasional baik yang sifatnya fisik seperti untuk pembayaran rekenng listrik, air, dan lain-lain atau yang sifatnya non fisik sepertti untuk memberi santunan kepada marbot (penunggu masjid), imam, mudzin , khatib, maka mengeluarkan dana dari kas masjid untuk kepentingan ini diperbolehkan kerena ini semua masih terkait dengan kemaslahatan yang berhubungan dengan masjid.
   
Namun untuk panitia Qurban, atau zakat fitrah (jika ada)  jika hendak diberikan insentif pada mereka maka jangan diambilkan dari kas masjid namun hendaknya dibebankan kepada orang-orang yang menitipkan hewan kurban yang hendak disembelih dimasjid tersebut dan kepada mereka yang menyalurkan zakat fitrahnya melalui masjid. Ini akan lebih tepat karena penyembelihan hewan dan zakat fitrah tidak mesti disalurkan lewat masjid, meskipun secara hukum boleh namun tidak memiliki nilai keutamaan secara khusus. Wallahu A’lam Bish Showab.   

Tanya:
    Apakah orang yang melakukan aqiqah boleh memakan dagingnya?

Jawab:
    Ya, orang yang melakukan aqiqah boleh memakan sebagian dari kambing yang disembelihnya, sebagaimana kalau ia meyembelih hewan kurban, iapun boleh memakan sebagian dari hewan kurban yang disembelihnya. Wallahu A'lam Bish Showab.

Tanya:
    Bagaimana adab-adab membaca Al Qur’an? (Lina, Teluk Betung)

Jawab:
    Adab-adab membaca Al Qur'an diantaranya:
1.    Memegang mushaf dalam keadaan berwudhu.
Imam Al Aajuri berkata: "Aku menyukai bagi orang yang akan membaca Al Qur'an baik diwaktu siang ataupun malam, membacanya dalam keadaan suci dan bersiwak (menggosok gigi) terlebih dahulu, ini untuk mengagungkan Al Qur'an yang merupakan Kalamullah." (Ahklaq Hamalatil Qur'an : 73)

2.    Bersiwak.
Hal ini didasarkan pada riwayat berikut ini, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اْلعَبْدَ إِذَا تَسَوَّكَ ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي قَامَ الْمَلَكُ خَلْفَهُ فَيَسْتَمِعَ لِقِرَاءَتِهِ فَيَدْنُو مِنْهُ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا حَتَّى يَضَعَ فَاهُ عَلَى فِيْهِ فَمَا يَخْرُجُ مِنْ فِيْهِ شَيْءٌ مِنَ الْقُرْآنِ إِلاَّ صَارَ فِي جَوْفِ الْمَلَكِ فَطَهِّرُوا أَفْوَاهَكُمْ لِلْقُرْآنِ

"Sesungguhnya seorang hamba jika bersiwak kemudian bangun untuk melakukan sholat, maka malaikat akan berdiri dibelakangnya lalu mendengarkan bacaannya, dan malaikat tersebut akan mendekatinya –atau kalimat yang mirip dengannya- lalu menempelkan mulutnya ke mulut orang tersebut,  sehingga tidaklah keluar dari mulut orang itu sesuatu dari (ayat) Al Qur'an melainkan akan masuk kedalam tubuh malaikat tersebut. Maka sucikanlah mulut-mulut kalian ketika akan membaca Al Qur'an." (HR Bazzar :496, lihat Majma' Zawaid 2/99 dan silsilah Ahadits Shahihah Syekh Albani 1/214/215)

3.    Membaca Al Qur'an dengan menghadap qiblat.
4.    Mengawali membaca al Qur'an dengan taawudz dan basmalah.
5.    Membaca Al Qur'an dengan membaguskan suara sebagus mungkin.
6.    Membaca Al Qur'an dengan penuh kekhusyu'an jika perlu hingga menitikkan air mata.
(lihat Kitab kaifa Natadabbarul Qur'an, Fawwaz Ahmad Zamrali : 34-40)

Tanya:

    Apa hukumnya menemani seseorang untuk sholat berjamaah? (Abdurrahman, Lampung Tengah)

Jawab:

    Menemani seseorang yang belum sholat dengan cara mengerjakan sholat berjamaah dengannya agar ia mendapatkan pahala sholat berjamaah hukumnya disyariatkan.

SEBAB PENAMAANNYA


Shalat tarawih adalah shalat lail (malam) yang dikerjakan pada malam bulan Ramadhan. Sholat tarawih terkadang disebut dengan 'qiyam Ramadhan." Bila pada malam-malam selain Ramadhan biasanya disebut sholat malam (qiyamul lail), atau sholat tahajjud.


Kata tarawih adalah bentuk jama' dari dari kata “tarwihah” yang artinya istirahat. (Lihat Fathul Bari, Syarah Shahih Bukhari).


Dinamakan shalat tarawih karena para salaf mengerjakan shalat malam tersebut dengan cara berhenti sejenak untuk beristirahat di tiap-tiap empat rakaat.


Hal ini didasarkan pada riwayat Imam Al Baihaqi dari Aisyah Radliyallahu'anha :





“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat malam empat rakaat lalu istirahat lama sekali sehingga saya merasa iba kepada beliau”.





KEUTAMAANNYA





1. Hadits dari Abu Hurairah Radliyallahu'anhu , Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:





مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ





“Barangsiapa yang menegakkan qiyam ramadhan/ shalat tarawih dengan dasar iman dan ikhlas (mengharapkan pahala) maka akan diampuni dosanya yang telah lalu”. (HR. Bukhari 1/499. Muslim 2/177. Malik 1/113/2. Abu Dawud 1371. An Nasa'i 1/308. At Tirmidzi 1/153. Ad Darimi 2/26. Ibnu Majah 1326)





2. Hadits dari Abu Dzar Radliyallahu'anhu , Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:





إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ





“Sesungguhnya barangsiapa yang shalat bersama Imam hingga selesai maka dicatat baginya (seperti) dia shalat tarawih semalam penuh” (HR. Ibnu Abi Syaibah 2190/2. Abu Dawud 1/217. At Tirmidzi 2/72-73. An Nasa'i 1/237. Ibnu Majah 11/397 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)





TATA CARANYA


Yang paling afdhal (utama) sholat tarawih dikerjakan sebanyak sebelas rakaat, karena inilah yang menjadi kebiasaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sekalipun menurut para ulama diperbolehkan sholat tarawih lebih dari sebelas rakaat.


Hal ini didasarkan pada pernyataan Aisyah رضي الله عنها:





“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dibulan Ramadhan maupun lainnya tidak pernah lebih dari 11 raka'at.“ (HR. Bukhari 2/25, Muslim 2/16. Al Baihaqi 2/495-496 dan Ahmad 6/36)





Teknisnya, sholat ini dilakukan dua rakaat-dua rakaat sekali salam. Lalu beristirahat (tarawih) setelah rakaat keempat dan kedelapan, baru kemudian dilanjutkan dengan sholat witir tiga rakaat baik dengan sekali salam tanpa takhiyat awal atau dengan dua kali salam.





Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :





صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى





"Sholat malam itu dua rakaat dua rakaat." (HR. Bukhari No 946)





Adapun dalil yang menyatakan dibenarkannya witir tiga rakaat dengan dua kali salam adalah :





عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُصَلِّي فِي الْحُجْرَةِ وَأَنَا فِي الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوَتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ





"Dari Aisyah ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sholat di kamar sedangkan saya berada didalam rumah, beliau memisahkan antara rakaat yang genap dan yang ganjil dengan salam yang terdengar oleh kami." (HR. Ahmad No 24018 dan Ibnu Hibban No 2433)





Sedangkan dalil tentang diperbolehkannya witir tiga rakaat dengan sekali salam tanpa ada takhiyat awal adalah perkataan Aisyah:





"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan sholat witir tiga rakaat dan beliau tidak duduk kecuali pada rakaat yang terakhir." (HR. Malik No 466, Nasai 3/234 dan Hakim 1/204)





Wallahu A'lam Bish Showab.




Tanya:

Adakah sholat sunnah sebelum maghrib dan isya? (Adi, Kota Bumi)

Jawab:

Pada dasarnya setiap antara adzan dan iqamah ada sholat sunnah yang dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:

Tanya:

Boleh tidak saya sholat tahajjud setelah berhubungan suami istri hanya dengan wudhu saja karena malam itu terasa dingin?

Jawab:

Seorang suami yang telah menggauli istrinya, kemudian keduanya akan melakukan sholat baik sholat tahajjud maupun sholat sunnah yang lain, maka keduanya wajib mandi janabat, tidak cukup hanya berwudhu, karena wudhu tidak dapat menghilangkan hadats besar, berwudhu hanya dapat menghilangkan hadats kecil. Adapun berhubungan suami istri termasuk hadats besar dan hanya dapat dihilangkan dengan cara mandi.

Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam riwayat beikut:

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ


“Apabila seorang (suami) menduduki empat anggota tubuh istri(nya) dan kedua alat kelamin telah bertemu maka ia telah wajib mandi.” (HR. Muslim No 349)

Dalam riwayat lain disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاغْتَسَلْنَا


“Dari Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata: “Jika dua alat kelamin bertemu (maksudnya berhubungan intim antara suami istri) maka sungguh telah mewajibkan mandi. Aku melakukan hal tersebut dengan Rasulullah r lalu kamipun mandi.” (HR. Ibnu Majah No 608 dan dishahihkan oleh Albani)

Jadi setelah melakukan hubungan intim antara suami istri maka mereka berdua harus mandi, tidak boleh diganti dengan hanya berwudhu.

Namun jika cuaca sangat dingin yang jika mandi akan menyebabkan sakit bahkan binasa, sementara tidak ada alat yang dapat memanaskan air, maka dalam hal ini ia bisa mengganti mandi dengan tayammum, bukan dengan wudhu, karena tayammum dapat berfungsi juga sebagai pengganti mandi jika seseorang tidak mendapatkan air atau terhalang untuk menggunakan air karena dingin yang sangat, tempat airnya tidak aman atau karena faktor-faktor yang membolehkan lainnya. (Lihat Sholatul Mukmin, Syeikh Saad Al Qahthani 1/87)

Hal ini didasarkan pada kisah yang menimpa Amru bin ash ketika beliau junub dimalam hari dan saat itu cuaca sangat dingin, beliau mengisahkan:

عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فِي غَزْوَةِ ذَاتِ السُّلَاسِلِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلِكَ فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي الصُّبْحَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي مَنَعَنِي مِنَ الِاغْتِسَالِ وَقُلْتُ إِنِّي سَمِعْتُ اللَّهَ يَقُولُ ( وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا ) فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا


“Dari Amru bin Ash ia berkata: “Pada suatu malam yang dingin dalam pertempuran Dzati Sulasil aku mimpi basah. Aku khawatir jika aku mandi aku akan binasa, maka akupun bertayammum kemudian aku mengimami sholat shubuh sahabat-sahabatku. Merekapun lalu menyebutkan (melaporkan) hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hai Amru, engkau mengimami sholat shubuh sahabat-sahabatmu sementara engkau dalam keadaan junub?”. Lalu akupun menceritakan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam apa yang menghalangiku untuk mandi dan aku berkata: Sesungguhnya Aku mendengar Allah berfirman: “(Artinya) Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepada kalian.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun tertawa dan tidak mengucapkan sesuatupun.” (HR. Abu Daud No 334 dan dishahihkan oleh Albani)

Tanya:

Bagaimana hukumnya setelah khutbah saya bertayammum?

Jawab:

Jika anda seorang khatib Jum’at dan ketika selesai atau ditengah-tengah khutbah anda berhadats, maka anda harus berwudhu kembali sebelum sholat dan tidak boleh diganti dengan tayammum kecuali bila anda termasuk orang yang diperbolehkan untuk bertayammum karena sakit atau tidak ada air untuk berwudhu, atau karena yang lainnya.


Adapun para jamaah, kiranya diminta untuk menunggu sejenak hingga sang khatib tersebut selesai berwudhu lalu ia memimpin sholat, karena sebaiknya orang yang khutbah itu merangkap menjadi imam sekaligus. Meskipun hal ini bukanlah suatu hal yang hukumnya wajib. Namun demikianlah yang disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Wallahu A’lam Bish Showab.

Daftar Isi Dialog

Pilihan Menu

Dialog Terbaru

Dialog Terpopuler

Komentar Anda

Jumlah Pengunjung Dialog

.